
Bangkinang — Meski pejabat menyatakan upaya pemblokiran dan penegakan hukum terhadap judi online dilakukan besar-besaran, praktik pemasaran dan akses ke platform taruhan tetap masif. Hasilnya: janji “berantas tuntas” pemerintah belum terlihat di lapangan — malah jutaan konten judi terus bermunculan dan beredar.
Fakta singkat:
Pemerintah (Kominfo/Kemkomdigi) berkali-kali mengumumkan pemblokiran ratusan ribu hingga jutaan konten/situs judi online. Namun angka pemblokiran tinggi tidak mencegah iklan berantai dan link pendek yang menawarkan “jaminan menang” beredar luas.
Secara hukum, perjudian (termasuk online) diatur dan dapat dijerat lewat KUHP dan UU ITE; sanksi tegas tersedia. Namun penerapan terhadap pelaku pemasaran, bandar, dan fasilitator pembayaran masih lemah dan terfragmentasi.
Apa yang terjadi di praktik:
Pelaku judi online memanfaatkan pendekatan berlapis: iklan berantai di pesan singkat, tautan pendek, dan layanan pembayaran yang cepat — sehingga meski situs diblokir, operator kembali dengan domain/akun baru dan jaringan promosi yang cepat mengganti alamat. Korban yang tergiur janji “kemenangan pasti” sering kali tidak bisa menuntut karena lokasi operator lintas yurisdiksi. Akibatnya, pemblokiran teknis jadi setengah langkah, bukan solusi menyeluruh.
Klaim vs Realita:
Pemerintah boleh klaim memblokir jutaan konten; itu nyata. Tapi angka pemblokiran tidak sama dengan pemberantasan aktor — bandar, pemasang iklan, dan jalur pembayaran masih aktif, sehingga dampak sosial dan ekonomi ke masyarakat berlanjut. Singkatnya: tindakan reaktif (blokir) tanpa penegakan menyeluruh terhadap rantai bisnis judi = kegagalan kebijakan.
Kesimpulan singkat untuk pembaca/pemangku kepentingan:
Kalau tujuan pemerintah adalah “berantas tuntas”, diperlukan strategi terpadu: pemblokiran teknis + penindakan hukum terhadap bandar dan pemasang iklan + pemutusan jalur pembayaran + kampanye edukasi. Tanpa itu, pernyataan keberhasilan hanyalah angka di pers rilis — sementara masyarakat terus dirugikan.
✍️✍️✍️